“Pertama Indonesia makin ketergantungan utang dengan China, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Kondisi ini bisa menciptakan dept trap atau jebakan utang”
JAKARTA | RMN Indonesia
Pemerintah berencana melanjutkan proyek kereta cepat hingga ke Surabaya. Proyek ini rencananya digarap pemerintah China dengan pertimbangan bunga yang lebih rendah.
Menanggapi hal itu, Pengamat Transportasi Publik Djoko Setijowarno menyebut, sah sah saja jika pemerintah menggandeng China. Dengan catatan, pemerintah tegas dan memastikan proyek itu tidak memakai APBN.
“Sekarang ditegasin aja, belajar dari yang lalu harus tegas. Jangan jadi beban negara. Indonesia itu bukan pulau Jawa saja loh,” ujarnya dikutip detikcom, Senin (30/10/2023).
Di ketahui, pemerintah telah menyuntikkan penyertaan modal negara (PMN) Rp 3,2 triliun ke PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI imbas bengkaknya proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Adapun proyek tersebut bengkak sebesar US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 19 triliunan.
Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, meminta pemerintah berhati-hati bila menggandeng China dalam proyek kereta cepat. Ada 4 hal yang perlu disoroti, satu diantaranya potensi jebakan utang.
“Pertama Indonesia makin ketergantungan utang dengan China, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Kondisi ini bisa menciptakan dept trap atau jebakan utang,” jelasnya saat dimintai keterangan.
Kedua, banyak infrastruktur lain yang lebih mendesak untuk dibangun selain kereta cepat. Menurutnya pelaku usaha butuh kawasan industri yang berdaya saing dan penurunan biaya logistik. Sementara masyarakat butuh percepatan infrastruktur di tingkat desa dan pertanian.
Ketiga, Bhima menilai kereta cepat tidak bisa dibilang murah, berkaca dari bunga utang KCJB yang sekitar 3%. Ia membandingkan bunga pinjaman dari Jepang untuk proyek MRT yang sebesar 0,1%.
“Itu artinya proyek kereta cepat secara keuangan sangat mahal. Keempat beban bagi BUMN yang menjadi pelaksana proyek sangat berat bahkan dari kondisi sehat harus menanggung operasional dan pembayaran pokok plus bunga yang tinggi. Ini kan ada risiko kontinjensi juga ke APBN nantinya,” bebernya.
Ia juga menilai dana APBN untuk menambal bengkak proyek KCJB harusnya bisa dipakai membangun infrastruktur Indonesia Timur. Padahal daerah tersebut juga membutuhkan infrastruktur yang memadai.
“Berapa triliun kemarin, kalau bangun Indonesia Timur daerah pedesaan sudah dapat berapa kilometer jalan, berapa angkutan umum. Kalau pemerintah itu ikut campur lagi duitnya itu hanya buat Jawa saja nanti, luar Jawa dapat apa?” tutup Djoko. (jr/you)