JAKARTA | RMN Indonesia
Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh buka-bukaan terkait alasan pihaknya menolak audit ulang atas data utang selisih harga atau rafaksi minyak goreng pemerintah ke pengusaha ritel.
Di ketahui belum lama ini pemerintah telah memutuskan akan membayar utang Migor dengan mengacu pada hasil audit PT Sucofindo yakni sebesar Rp 474,8 miliar. Sementara, BPKP diminta melakukan verifikasi ulang lantaran ada perbedaan data nilai klaim dari pemerintah dengan pengusaha minyak goreng.
Ateh menilai, data yang disampaikan Sucofindo terbilang sudah bagus. Hal ini yang membuatnya ketika itu menolak untuk melakukan audit ulang. “(Menolak audit ulang) karena sudah bagus, buat apa double-double (hasil audit). Sudah jalan,” kata Ateh, ditemui di Kantor Kementerian PANRB, Jakarta Selatan, dikutip Rabu (27/3).
Ia menegaskan, kalau pemerintah tidak harus mengacu kepada hasil audit dari BPKP sebagai lembaga auditor internal pemerintahan. Tidak ada larangan untuk mengacu pada hasil dari Sucofindo yang merupakan lembaga surveyor profesional dan surveyor resmi program rafaksi minyak goreng.
“Nggak harus. Sudah bagus (hasil Sucofindo). Kita melihat prosesnya bagus. Sucofindo bagus sudah. Sudah diatur kan peraturannya (Sucofindo sebagai auditor),” ujarnya.
Sebagai tambahan informasi, komitmen pemerintah dalam memenuhi pembayaran besaran klaim rafaksi minyak goreng mulanya disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan saat memimpin Rapat Koordinasi Pembayaran Rafaksi Minyak Goreng (25/03).
“Kita harus menuntaskan (permasalahan) mengenai rafaksi minyak goreng ini. Ini sudah diaudit sama BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dan tidak ada isu sepertinya. Kita harus segera menyelesaikan ini, sehingga pedagang tidak mengalami kerugian,” tutur Luhut dalam keterangannya, Senin (25/3).
Luhut juga meminta konfirmasi Kejaksaan Agung terkait aspek hukum kewajiban pembayaran utang pemerintah tersebut. Pihak Kejaksaan Agung menyebut pihaknya sudah membuat Legal Opinion (LO) demi menghindari risiko hukum di kemudian hari. (jr)